CERITA “RE”

15/09/2011 § Tinggalkan komentar


Dear Re,

How long we never meet and discuss anything again like a friendship after you back to Jakarta? Ehm,.. sorry i’am forget. We meet again in the last at one week ago in east sumatra. Dan masih mengingat kamu menulis sesuatu di pasir aku, Re. Serta kamu memutuskan membawa sebagian pasir tersebut sebagai pengingat bahwa hidup kamu harus berjalan maju dengan energi baru akan pelepasan. Sekali lagi, kamu masih seperti dulu kala saat pertemuan dan cerita pertama perjalananmu di pasir putih dewata.

Sama saat kamu hanya duduk terdiam dan menatap lurus ke depan, serta melepaskan satu persatu di tiap-tiap deburan ombak yang lepas pecah menjadi buih. Saat itu kamu ingin menjadi Re yang baru dengan niat tropical design-mu 3.5tahun yang lalu. Kamu bercerita tentang va’astu yang masih menjadi janin yang kamu kandung dan akan kamu lepas ketika dia siap untuk melangkah dalam kehidupan idealisme-mu. Kamu tahu, va’astu adalah dinamisme hidup-mu pada saat aku mendengarkan tentang dia pada saat itu. Dan dia juga bara api-mu untuk tetap mencari cara bagaimana akan bertahan hidup dengan konsep yang kau bangun untuk pencitraan akannya selain dari keseimbangan itu sendiri.

Kamu masih ingat, Re? Setengah tahun pertama kamu nyaman dengan semua. Sampai pada satu titik kamu tidak bisa bernafas karena tidak adanya pelepasan imagi-mu, sehingga KILAU pun terlahir sebagai sarana-mu sebagai pelepasan dan tantangan diri-mu. Betapa masih sangat teringat dengan jelas kamu membawa buku sketsa kemana pun melangkah serta duduk berlama-lama sampai matahari terbenam di pasir putih-ku yang biasa kau sebut pettitenget. Tempat yang akhirnya sering kau datangi yang kadang hanya ingin melepas penat untuk pengenduran syaraf yang telah seharian tegang.

Kamu masih mengingat Pantai Berawa, Re? Ya, itu adalah satu tempat kali pertama kamu lari dari rutinitas yang ada setelah meeting di proyek untuk melepas semua kegalauan. Kamu hanya duduk diundakan dan menghirup aroma buih ombak yang pecah entah berapa lama, ketika semua rasa menghimpit-mu hingga sulit bernafas. Jam 3 sore ketika panas menyengat baru saja menyingsing dan mereda. Dan aku pun kali pertama mendengarkan dan menampung semua kegelisahan-mu yang kau lepas berbarengan dengan buih ombak yang pecah untuk kesekian kalinya. Keputusanmu adalah melepaskan semua tanpa harus ada pembelaan di sana. Kamu pergi karena cukup dirasakan pada masa itu, dan mencari tantangan baru. Sekali lagi, demi va’astu kamu melangkah. Demi impian kemandirian yang akan kamu bangun dimana pun dia nanti.

Kamu pasti masih sangat mengingat Pantai Batu Bolong, Canggu dengan sangat fasih. Dipantai ini kamu hampir menangis karena tekanan dan tuntutan yang dirasa mulai keterlaluan di saat itu. Kamu marah dan emosi tertahan setelah insiden besar yang mengharapkan pengertian bahwa itu bukan bidang-mu. Bukan hal yang kamu cintai untuk dikerjakan dengan sangat fasih dan ikhlas. Kamu marah dan kecewa serta mengharapkan pengertian.

Disini kesetianmu akan semua diuji, dan kamu hampir menyerah. Disini kamu belajar berdamai dan bersinergi pada akhirnya untuk menciptakan konsep manajement va’astu yang akan diterapkan nantinya. Dan disini kamu melakukan eksperimen loyalitas dua sisi dalam balutan memberi dan menerima dengan seimbang serta saling pengertian untuk kekompakan. Dan disini kamu memberikan batasan mutlak untuk melangkah sendiri dengan va’astu. Dari saat pertama aku pun mengetahui bahwa dia adalah dinamisme dan mimpi-mu untuk kemandirian berkarya.

Kemudian semua berjalan antara Pererenan, Batu Bolong dan Pettitenget. Tiga pasir berbeda dengan tiga tempat berbeda yang selalu kamu sempatkan hanya untuk bercerita seperti layaknya sahabat dekat.

Sampai pada satu titik, kamu mengucapkan perpisahan karena harus memilih di Tanah Lot. Untuk terakhir kali kunjungan kamu setelah pertengkaran hebat antara kamu dan-“nya” yang menempati hatimu saat itu tanpa tahu sebab yang pasti. Disini, kamu takut berjanji dengan dewata karena takut tidak bisa memenuhinya. Kamu hanya berani mengabadikan dalam potongan-potongan gambar untuk disimpan dan dikenang. Disini aku melihat keterpaksaanmu untuk sebuah pilihan yang harus kamu ambil dengan sangat berat. Sesuai dengan rencana awal-mu, Re. Tiga tahun kamu khatamkan semua untuk va’astu, walaupun kepulangan-mu bukan demi kepentingannya.

Re, ketika kamu berpindah dan memutuskan “moving on” untuk ayah bunda tercinta serta berusaha berharmonisasi dengan rutinitas yang ada. Kali ini kamu datang ke Pantai Utara, Jakarta untuk menyapa dan bercengkrama, tetapi kamu urungkan dan hanya berjalan mengikuti langkah mereka. Kamu hanya menyapa dalam hati. Hati kamu merindukan dewata dan masih ingin melangkah serta bercengkarama dengan pasir nyaman disana. Re, saat itu ingin aku berkata bahwa “dewata, pettitenget, batu bolong dan pererenan hanyalah lokasi. Aku luas selama kamu temukan bibir pantai. Tenangkanlah hati kamu.

Masih aku ingat kedatangan kamu yang utuh walaupun sekitar tidak merasakannya. Kamu datang untuk membantu seseorang melepas tukik dan bintang laut. Disaat itu pun kamu melepas kerinduan tertahan pelan-pelan akan dewata dan menjalani apa yang ada di kota kelahiranmu. Kamu memutuskan berdamai dan memulai semua menjadi “nothing” untuk membangun menjadi “something”. Kamu memutuskan va’astu dijalankan di kota kelahiranmu. Kota dimana va’astu tercipta dan terkonsep di dalam kesibukkan serta macetnya jakartamu. Kamu memilih akhirnya pada akhir tahun 2010.

Senang dengan sangat sederhananya bahwa kamu menikmati semuanya dalam menata, menuntun dan membesarkan va’astu dengan semua konsep manajement yang telah lama disiapkan, menjadi realisasi nyata serta kamu menikmatinya. Dan kamu kokoh dengan mimpi ini untuk kesekian kalinya.

Bersinergi bukan berarti melupakan dan mencari bentukkan lain karena aku tahu kamu sanggung menahan tangis, under preasure dan benturan untuk va’astu yang kamu pegang kokoh. Ini adalah salah satu penguat kamu untuk masalah personal yang dihadapi selain kecintaan kamu dengan Sang Yang Maha Segala serta Ayah Bunda. Salah satu cahaya idealisme kamu yang selalu diperjuangkan untuk sebuah pengertian walaupun resiko yang dihadapi kali ini sangat besar adanya. Kamu percaya Sang Yang Maha memiliki rencana sempurna dalam menempa kamu dalam kekurangan pengolahan “rasa” untuk terakhir kalinya. “Mendesainlah dengan hati bersama va’astu”.

Re, masih ingat kah kamu ketika kamu menyapa aku di Parangtritis, Jogjakarta. Kamu datang dengan Listya berdua. Kamu menceritakan ingin melepas arsitektur karena lelahnya akan tekanan dan tugas. Dan bisa ditebak dengan mudah, itu hanya emosi. Dimatamu aku tahu bahwa arsitektur adalah soul-mu dan kamu akan layu seperti sayur apabila tanpa dia. Karena kamu sangat mencintai bidang ini telah lama, dari masa 14 tahun usia kehidupan kamu. Berjuang mati-matian untuk mendapat nilai yang baik sehingga kamu lulus dalam jurusan IPA dan mematahkan dengan mudah analisis psikotes-mu. Itu kamu, Re. Selalu tahu apa yang kamu mau, bahkan sampai detik ini.

Itulah kali pertama kekokohan pilihan dan karaktermu diuji. Disini kamu mengalami benturan akan keragaman budaya. Disinilah kamu pernah mencoba menjadi orang lain agar bisa dimengerti dan dipahami sampai lelah. Pada akhirnya kamu menyerah serta menjadi tidak perduli karena bagimu tidak baik pertemanan dibangun dengan menggunakan topeng hanya untuk penerimaan. Dan kamu mendeklarasikan ini adalah kamu apa adanya dengan segala kekakuan dan fleksibelitas yang ada. Tanpa sadar, keputusanmu adalah baik adanya karena melindungi kamu dari hal-hal negatif lingkungan. Mengajarkan kamu bahwa perbedaan itu adalah indah dan toleransi itu adalah keajaiban bagi kamu. Disinilah kamu mulai tertarik belajar ilmu budaya dan karekter budaya untuk menciptakan sinergi indah versi kamu. Open Main yang kamu bangun masih membuat teman kamu terheran-heran akan pola pikir dan alur yang terbangun. Dan kamu kembali tergila-gila dengan pluralisme karena indah ditiap-tiap sisinya.

Sadarkah kamu bahwa kamu telah mengalami proses panjang hidup, Re. Kamu telah menjalani ketetapan pilihan dan bertanggung jawab dengan pilihan tersebut. Kamu telah mempelajari keragaman itu indah dengan sangat sederhananya. Kamu telah mempelajari bahwa jujur dan menjadi diri kamu apa adanya lebih berharga dibandingkan menjadi orang lain serta diam di zona aman ketika tidak dirasakan adil. Kamu telah mempelajari bersinergi dan kekompakkan untuk mencapai tujuan dalam manajement team. Serta kamu sekarang sedang mempelajari mengolah dan mengontrol rasa untuk memanusiawikan semua keputusan yang diambil bersama untuk membesarkan va’astu.

Re, sadarkan kamu bahwa jakarta mengajarkan kamu berlari dengan waktu dan perencanaan. Bali mengajarkan kamu akan open main dalam positif thinking akan toleransi dan kebersamaan yang harmonis. Dan terakhir, Jogjakarta mengajarkan kamu untuk membumi dan mencintai keragaman budaya. Sangat berharap kamu dapat mengkhatamkannya semua dan mengerti serta menerapkannya dengan sangat fasihnya.

Re, tidak perlu berjalan jauh untuk mencari aku. Cukup kamu temukan pecahnya ombak menjadi buih dipasirku. Dan aku akan selalu ada disana untuk mendengarkan dan menemanimu melepas ketika ingin dilepaskan.

>sulitkah tuk menoleh dan menangis bersama…??

19/12/2007 § Tinggalkan komentar


>menoleh hanya untuk membaca dan menangisi dalam hati, mengapa suasana hari ini begitu membuat lelah kalbu dan akhirnya menjadi luka dan perih.

menoleh hanya untuk memilih mana sang topeng putih dan polos diantara ribuan topeng hitam, seperti mencari sebutir berlian diantara seribu batuan dan pasir dalam kandung badan bunda pertiwi.

tanpa terasa,.. kini sang putih telah tiada dan entah kapan kembali dan merindu bersama diantara beratnya topeng yang harus ditopang dan dibaca dengan jiwa yang telah sangat lelah hanya untuk mengeja dalam hati. sukma kalbu telah mulai menipis sehingga sang amarah durja tersenyum senang karena angkara murka telah bersekutu dan beranak pinak disana.

sang putih,.. kenapa menghilang..??? tau kah kau aku bersedia menjadi sekutumu dan menghiasi dunia dengan warna indah cerah. putih, jangan lupa,.. aku bersedia menoleh dan menangis bersama dengan mu walaupun waktu tak akan pernah mau bersekutu sehingga toleransi pun terjadi.. atau ku tawarkan kesetiaan kepadamu menunggu sang waktu yang congkak sampai bermain bersama dan ceria…

Where Am I?

You are currently browsing the vaastu cepat besar yah karena bunda kan menerangimu dengan senyum category at loving-life.